Cerita dimulai minggu lalu, kala para pengelola kota biasa berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang perlu diurus di kota yang, hm….. bagaimana ya? dulu sih dibangun dengan penuh cita-cita nan tinggi dan mulia. Sekarang? Yah, begitulah.
Perlu diketahui, walaupun salah satu dari cita-cita nan indah yang diimpikan tersebut adalah membangun kota yang demokratis dan egaliter (wah, bahasa apa pula ini?), tetapi kenyataannya sangatlah sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh sang pemingpin yang sangat feodal. Lucunya, yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu merasa dirinya seorang bapak-penuh-kasih-sayang-dan-perhatian-yang-sangat-egaliter-nan-bijak-laksana. Jadi, pada kenyatannya, kota ini adalah sebuah kerajaan kecil dengan berbagai kasta. tapi ingat ya, kasta-kasta di kota ini pada dasarnya seperti perbedaan kelas di inggeris raia. Seperti hantu, tidak ada tetapi ada.
Nah, minggu lalu, rupanya yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu merasa terjadi ketidak-harmonisan dalam kota. jatah beras untuk kasta sudra sepertinya terlalu banyak jika dibandingkan dengan gerabah yang dibuat, “kasta sudra jadi pemalas dan gemuk-berlemak karena terlalu banyak makan nasi!!!! Lihat, produksi gerabahnya Cuma sekian. Yu iting-iting blaind payment!!!” ujar yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu sambil membaca sepotong gulungan catatan yang diberikan oleh yang-mulia-kesatria-urusan-ini-itu. Masalahnya, gulungan itu hanya mencatat urusan gerabah saja, urusan membuat gentong dan kendi tidak dihitung. Belum lagi, terkadang para kesatria (yang belum dimuliakan ya….) memberikan tugas juga kepada sudra dan ini tentu saja tidak ada dalam sistem pencatatan yang-mulia-kesatria-ini-itu.
Keesokan harinya, kasta sudra dan hampir-sudra dikumpulkan oleh yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu untuk diberi berkah-dan-petuah agar supaya dapat meningkatkan produksi gerabahnya dan tidak hanya iting-iting saja kerjanya.
Sebetulnya, permasalahan ini sudah dibahas oleh kesatria-kesatria yang tugasnya mengatur pekerjaan para sudra. Tapi sepertinya yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu tidak mengerti penjelasannya dan tetap pada pendiriannya. Lagipula, mana bisa yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu salah ya?
Ah, sungguh yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu terlihat seperti yang-dipertuan-agung-koboi-tolol-dari-negeri-seberang yang kerjanya tembak sana-tembak sini tak tentu arah.
Karena tak habis pikir, beberapa sudra berbicara dengan penduduk kota lain yang walaupun rada sableng tetapi sebetulnya bijak-laksana. Menurut beliau, terjadi ketidak-konsistenan antara persepsi diri dengan kenyataan. Atau bahasa dungdatnya: kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Sebagai kasta tertinggi, Brahmana yang tinggal di nirwana, dewa yang harusnya disembah-sembah, yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu ternyata masih harus sering turun ke bumi untuk mencangkul. Tanahnya keras lagi, milik brahmana yang gadanya lebih gede. Jadi pemerintahan kota (ah salah, menurut yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu kota ini adalah kerajaan kecil hak milik beliau) dicampuri sang brahmana-gada-gede. Menurut penduduk-kota-sebelah-yang-sableng-nan-bijak-laksana, hal ini sungguh mengganggu ketentraman jiwa yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu sehingga beliau maunya marah-marah melulu, ingin kakinya lebih sering dijilat karena dirasa terlalu banyak tanah kotor yang menempel.
Sudah brahmana kok nyangkul????
Ah jiwa yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu remuk redam rasanya.
Suatu penjelasan yang cukup logis walaupun tetap saja tidak menghilangkan pandangan bahwa yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu sebetulnya hanya seorang sheriff-tua-tukang-tembak-sana-sini.
Jadi apabila yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu mulai memuntahkan petuah, berkah dan lain lain, mohon dimaklumi saja.
Kasihan, brahmana kok masih nyangkul.
(terima kasih kepada penduduk-kota-sebelah-sableng-nan-bijak-laksana untuk memperkenalkan teori ini kepada sudra-tukang-ngomel yang baru mendapat berkah dari yang-mulia-kanjeng-gusti-prabu)
No comments:
Post a Comment