It’s been awhile, a couple of weeks.
It started with the ym status, then the updates through ym, then the texts.
Then the horrifying phone call.
I knew that in this situation, a long-distance phone call never meant good news. But still I didn’t want to believe, forcing bubumum to say it, the words I didn’t want to hear, words I needed to hear to snap me out of denial. Until she couldn’t take it and somewhat mumbled them between her sobs.
Disbelief. Anger. Questions. Questions. Questions. Questions. Anguish. Sorrow.
But no matter how many questions asked, how many hows and whys, the fact is she’s gone. My mentor, my coach, role model in my career and most of all, my aunt & second mum sudah dipanggil yang maha pengasih.
Sekarang saya mau pakai bahasa indonesia saja, karena saya tidak suka membicarakan beliau dalam bentuk lampau :(
Saya ingat terakhir chatting dengan beliau, beberapa jam sebelum operasinya.
Saya ingat pertemuan terakhir dengan beliau, pergi ke rumahnya, bersama bubu & neng nong neng gung untuk pamit kembali ke sini. Lalu neng nong membuat kekacauan di kebun beliau. Saya ingat ekspresi beliau saat mendengar berita keluarga yang kurang sedap.
Waktu saya kecil, beliau sering membelikan cokelat berbentuk huruf untuk saya & kakak-kakak. Saya ingat dibelikan huruf nama belakang saya karena nama depan saya ‘I’, cokelatnya terlalu kecil.
Saya ingat mobil vw beliau yang dulu rasanya paling keren sedunia hanya karena saya bisa bebas melompat ke sana ke mari di belakang tanpa dimarahi, karena kursi belakang tidak ada pintunya.
Rasanya saya lihat beliau di mana-mana.
Di ruangan beliau, saat saya curhat, kesal dengan kebijakan-kebijakan bodoh.
Di ruang rapat, dibalik laptopnya atau dibalik setumpuk buku untuk mencuri waktu daripada mendengar rapat tak tentu arah. Delikan kesalnya saat tiba-tiba ditembak untuk kemudian balik mengintimidasi penembak bodoh itu.
Di ruang makan kantor, di mobil, saat makan siang di luar bersama rekan-rekan senasib di kantor.
Di toko bule, sendirian, mendorong troli karena anak-anaknya tinggal di luar kota.
Di pintu garasi rumah, saat beliau mampir di pagi hari untuk ngobrol sebentar dengan my mum.
Kadang masih berharap melihat kepala kuning bulat di samping nick beliau di ym bangun, supaya saya bisa menyapa.
Masih berharap bisa mencarikan beliau artikel untuk disertasinya, mencarikan buku.
Masih berharap membawa beliau jalan-jalan keliling kota di sini.
Masih punya keinginan membelikan hadiah untuk kelulusan beliau nanti.
Menyesal saat menemukan toko crochet karena sudah terlambat……..
Saya yakin, Yang Maha Baik sudah memberikan yang terbaik untuk beliau dan untuk kita semua. Tapi, dalam hati kecil kadang masih ada ‘kenapa?’
For me, maybe the answer is so that she can keep inspiring us all to be always dedicated & motivated. And most of all, to be always kind.
I still don’t want to say farewell, because she will always be in my mind, my prayers ………
my heart.
1 comment:
Innalilahi wa innailaihi rojiun.. semoga beliau mendapat tempat yang terbaik disisiNya... turut berduka cita ya ra..
Post a Comment